Sunan Gunung Djati-Saya pernah melihat sebuah kalimat dalam buku berjudul ”Atas Nama Agama”, tapi tidak begitu ingat siapa yang mengatakannya, kurang lebih bunyinya seperti ini:
”jika agama diwahyukan untuk manusia bukan manusia lahir untuk agama, maka standar baik buruknya suatu agama adalah nilai-nilai kemanusiawian, bukan ideologi, (lalu saya tambahkan) kitab suci, aliranisme, sektarianisme, anarkisme, pengelompokan, bahkan pembunuhan”.
Bunyi buku tersebut memang tidak persis dengan bunyi aslinya, dan jika itu ada penambahan pada bunyinya, semata-mata bukan pengaburan atas makna, namun tidak lebih dari sebuah gambaran kusamnya sikap dan pemahaman kita terhadap agama. Atau penyoknya wajah agama lantaran para pemeluk memegang pentungan, seperti Satpol pamong praja ketika berhadapan dengan pedagang kaki lima atau para penghuni gubug liar, atau penghuni lahan tempat hunian yang dianggap ilegal. Lalu saya bayangkan bahwa para penghuni liar-pedagang kaki lima itu sebagai agama. Dipukulilah, digebuk-gebuk, diusir-usir, dan dimaki-makilah agama itu dengan pentungan, anarkisme mengental disana.
Apa yang dilakukan kelompok satpol PP terhadap penggusuran paksa pun adalah anarkisme yang berkekuatan hukum. Anarkisme yang diamini oleh pimpinan mereka (entah itu walikota atau Bupati). Anarkisme yang jika kewalahan mengahadapi masa akan dibantu atau dilapisi dengan tenaga anarkisme yang kokoh lainnya yakni polisi, atau kalau perlu dengan kekuatan anarkisme yang terkokoh, tentara.
Bekelompok dalam bentuk apapun (agama, suku, ras) keharusan dari keterbatasan kemampuan individualistik manusia. Anak muda berkelompok membuat plaform dalam wadah geng motor, aksi brutalnya kebut-kebutan atau jika perlu mengeroyok (yang kurang persis sebabnya) anggota geng motor lainnya, merupakan manifestasi paltform kelompok mereka. Kelompok Bondo Nekat (BONEK), salah satu kelompok supporter klub sepak bola kita, terkenal galak dan liar ketika klub yang dicintainya kalah dalam bertarung yang terkadang kekalahan klub mereka tersebut tidak lepas dari anggapan trik dan intrik kecurangan wasit ketika memimpin pertandingan. Aksi-aksi anarkisme lainnya sering dipertunjukan oleh kelompok-kelompok manusia lainnya sebagai perwujudan program-program mereka atas visi dan misinya. Pada puncak radikal, bukan anarkisme dalam bentuk pemukulan dan pengrusakan lagi yang mereka rencana-aksikan, melainkan pembunuhan yang terkadang meleset kurang tepat sasaran lewat serangkaian serangan peledakan bom.
Struktur aksi anarkisme dan radikalisme pada lingkungan kelompok kita begitu rapi dan sistematis sehingga aparat keamanan (polisi dkk) kecolongan, kewalahan, terlambat untuk merespon secara sigap dan siaga. Ganasnya, aksi anarkisme dan radikalisme tersebut kerap terjadi pada tempat yang sedikit atau bahkan tidak ada (tidak hadir) para aparat keamanannya. Ya…setidaknya jika akan terjadi aksi anarkisme, alangkah terlebih dahulu para kelompok tersebut berkoordinasi (pemberitahuan atau izin) kepada pihak keamanan bahwa akan diselenggarakan kegiatan anarkisme. Maka pihak keamanan pun akan tahu takaran kelompok personelnya yang harus diturunkan untuk ’mendampingi dan menjamin’ aksi anarkisme.
Anarkisme adalah kebutuhan dari sebuah keterpaksaan, menempatkan anarkisme pada tempat yang tak patut membuat orang menjadi teranarkis atau tidak enak, bahasa kasarnya terdzalimi, tersiksa, terenggut hak asasinya. Anarkisme, alangkah lebih baik digelar dikamar mandi sambil berteriak-teriak memukul gayung ke bak mandi, atau bersorak sorai di pinggir pantai sambil memukul dan menerjang badai ombak, dan itu lebih menantang dan tidak beresiko terhadap siapapun.
Apa yang patut ditelusuri adalah kenapa masing-masing kelompok terpaksa beraksi anarkis dan seolah tidak ada tempat lagi untuk menuangkan keterpakasaan beraksi anarkis. Sisi lain (lagi-lagi seolah-olah) para aparat keamanan menunggu (jika tidak bisa dikatakan menanti atau merindukan) kegiatan-kegiatan anarkisme yang diaksikan oleh kelompok-kelompok, apa maksudnya dengan kerinduan para aparat dan pemegang kebijakan dengan seolah merindukan aksi anarkisme kelompok masyarakat?
Suatu kekacauan (chaos dan disorder) yang memuncak akan mengukuhkan sebuah tidakaturan yang teratur, kebobrokan yang terpadu, serta kakalutan, kecemasan, penindasan dan ketertindasan yang utuh. Suatu ketidakseimbangan yang benar-benar seimbang. Suatu ketidakadilan yang benar-benar adil. Maka keutuhan atas kekacauanlah yang mesti dibongkar kemudian diruntuhkan dan diluluhkan. Represif? belum tentu jadi satu-satunya martir untuk meluluhlantahkannya. Tapi, sisi lain kita sangat butuh dengan sebuah kondisi yang aman dan itu sedikit mengenang yang dulu menjadi momok mengerikan dan mungkin sekarang menjadi kerinduan: sebuah represifitas otoritatif dari pemegang kekuasaan dikala kita terjepit dalam ruang anarkisme horizontal. Mestikah isme militer -yang telah cukup lama kita tenggelamkan dalam sejarah politik kita- terpaksa kita angkat kembali sebagai pahlawan-isme stabilitas keamanan bangsa dan negara karena masing-masing dari kita telah terjepit atau saling berkejar-kejaran untuk melindungi?
Apa yang dikatakan Buya Ma’arif (salah satu sesepuh Muhamadiyyah) bahwa Agama, Tuhan, (saya tambahkan) kitab suci, kekalahan sepak bola atas kecurangan wasit, penertiban kaki lima dan gubuk liar, penggarukan anak jalanan, banci-banci, para WTS, sampai penggarukan tukang becak adalah hanya sebagai media atau alat untuk beraksi anarkis. Alat: sebuah alasan permukaannnya saja. Artinya, ada dan tersimpan alasan-alasan yang beruntun, terstruktur, mengakar, serta mendasar tentang mengapa orang berkelompok kemudian melakukan tindakan anarkisme sosial.
Sebetulnya di dalam nafsu anarkisme kolektif bangsa kita tertanam potensi mentalitas, semangat, spirit, dan ghirah yang gigih dalam memperjuangkan ’sesuatu’, berani untuk melakukan ’sesuatu’, antusiasme terhadap ’sesuatu’, bahkan hiper cinta (fanatisme) terhadap ’sesuatu’, yang jika ’sesuatu’ itu adalah ’sesuatu’ dalam persepsi dan langkah bersama, ALANGKAH TERHORMATNYA BANGSA KITA. Dan kalau ada yang mengatakan bangsa kita adalah bangsa loyo, itu sangat tidak benar. Kita lihat kenekatan para Bonek timbul atas potensi mentalitas heroisme surabayanya, para mujahid melakukan bom bunuh diri adalah potensi keberaniannya, orang Madura berani melakukan ritual Carok, Orang Nias tangkas melakukan upacara loncat Batu Nias dengan ketinggian tertentu, Orang Papua adu lari dengan binatang kencang di tengah hutan dengan kecepatan tinggi, Orang Bugis melaut dengan kemutakhirannya, dlsb.
Jika dianggap tertinggal, Bangsa kita sebenarnya matang dan siap untuk melakukan ketertinggalan apa pun, jika dianggap kurang aman, bangsa kita sebenarnya siap menciptakan kondisi se-aman apapun. Tinggal kita tempatkan potensi mentalitas yang menimbulkan tindakan anarkisme tersebut pada tempatnya. Yang jadi soal, tempat untuk menyalurkan potensi mentalitas bangsa kita sebagian besar tidak ada, bahkan terenggut. Kita loyo dan lambat untuk mengakomodasi, bahkan enggan untuk mengapresiasi potensi bangsa kita. Kalaupun ada, kita kurang fair untuk mengkomodir dan mengapresiasinya. Terenggut oleh kepentingan yang menguntungkan satu sisi dan merugikan sisi lain.
Jadi, bicara soal kualitas bangsa kita yang loyo dan dipertanyakan, patut kita naik bandingkan dan kasasikan kembali. Kalau kita loyo untuk mengakomodir dan mengakui potensi, kita akui.
Negara kita adalah bukan negara agama, titik dan tidak usah diperdebatkan kembali. Bangsa kita pun adalah bangsa Timur dan titik tak perlu juga diusik-usik, disuapi, diobok-obok dengan (anu, ini, atau itu) yang tidak akomodatif dengan ke-Timuran- kita. Kita tidak menempatkan ideologi agama sebagai dasar bangsa, namun kita mengukuhkan sebuah bangsa yang tidak bias identitas dan kita memiliki sebuah nilai kebangsaan.
Potensi kebangsaan kita dalam kaitannya dengan sifat ke-Timuran-nya muncul dalam kekhusyuan dalam beragama, kesungguhan ketika memelihara, mempertahankan, dan menghormati kesukuan dan ras kita, yang itu semua (berani sumpah) lebih unggul dan siap berkompetisi dengan bangsa lain manapun. Bicara soal potensi atau kualitas SDM pendidikan kita, di awal, Islam muncul lewat pendidikan gaya pesantren, di daerah (kalo nggak salah) Sala Tiga (sebuah perkampungan) ada juga Sekolah Teologi Kristen Katolik yang tidak jauh dengan cara atau gaya konvensional-tradisional pesantren Islam, atau kalau boleh saya sebut: Pesantren Teologi Katolik. Pun, di Bali ada kegiatan-kegiatan yang sifatnya mendidik dan mencerdaskan budaya bangsa untuk ke-Heinduan- Balinya. Di Batak, di Aceh, di Papua, dan di penjuru Nusantara lainnya, saya yakin masing-masing memiliki cara pandang terhadap nilai budaya dan hukum-hukumnya serta pengembangannya. Nah, nilai-nilai kekonvensionalan, ketradisonalan, dan lokalitas, serta pengembangannya tersebut merupakan nilai-nilai bangsa kita, BANGSA INDONESIA.
Islam adalah agama mayoritas secara angka, kenapa angka? saya yakin sepenuh hati jika ditanya soal kualitas keberagaaman masing-masing agama, mereka angkat tangan dan menyerahkannya pada Tuhan mereka masing-masing. Umat Islam berkontribusi besar ketika bangsa dan negara butuh aksi-aksi untuk mencerdaskan kehidupan budaya dan bangsa. Maka umat Islam pun pada tahap awal menyelenggarakan pendidikan dalam bentuk pensantren-pesantren yang tersebar di Nusantara Indonesia. Pada fase selanjutnya berkembang, bermetamorfosa, beradapatasi terhadap waktu dan jaman, namun ruh kepesantrenan dalam mencetak SDM berkualitas terus berkembang. Out put dari pesantren tersebut melahirkan sejumlah kualitas manusia (yang kita sebut dengan santri) yang unggul dan (berani sumpah) mampu bersaing dengan out put pendidikan formal atau pendidikan modern sopistikatif sekali pun. Buktinya, out put pendidikan formal dan modern mana yang mampu merakit bom dan senjata serta berani meledakannya dengan cara bunuh diri di tempat keramaian selain santri pesantren -yang sementara sebagian kita anggap pesantren itu kuno dan tertinggal. Pendidikan formal modern canggih mana di Indonesia yang mampu dan berani merangkai bom menghubungkannya dengan laptop dan jika hendak diledakan tinggal satu kali pijit nomor Hand Phone jika bukan hanya kader-kader pesantren -yang jauh dari akses layanan pendidikan negara.
Peledakan bom itu mirip film laga produk asing ketika sang antagonis menghancurkan si protagonis. Ya, ternyata si asing hanya mampu pada level memanipulasi bom lewat filmnya penuh rekayasa. Indonesia tidak, SDM nya mampu membuktikan dan pernah mencobanya beberapa kali seperti Bom Kuningan, Bali, Poso dlsb. Jika dipandang dari sisi lain yang fair dan adil, ini bukan sama sekali terorisme seperti yang dicuatkan selama ini, melainkan sebuah potensi bangsa, sekali lagi ini merupakan potensi kualitas SDM Bangsa Indonesia.
Pesantren juga tak hanya mengutak-atik pengetahuan teknologi secara otodidak (lantaran iri tidak kebagian akses dari para pemegang kuasa pembangunan), mereka juga –dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya- secara otodidak mengelola lahan-lahan pertanian. Lagi-lagi, lantaran mereka renggang dan susah mengakses pengetahuan kemutakhiran teknologi pertanian, maka mereka pun mengolah pertanian secara sederhana yang -secara sadar tak sadar -mafhum dan bijak terhadap ekologi. Walhasil, dari segala keterbatasan dan keterjepitannya (tanpa merasa terjepit dan terbatas) mereka mampu mengelola kegiatan pertanian dan perkebunan secara organik (padahal mereka tidak tahu amat tentang apa itu organik dan non-organik).
Tidak sedikit produk organik di lahan perkebunan dan pertanian yang segar-segar yang kita konsumsi di kota adalah produk yang didatangkan dari pelosok antah berantah yang ternyata ada juga yang diolah oleh para santri pesantren atas pengalaman pengetahuan otodidak mereka. Kalaupun mereka dapat mengakses pengetahuan teknologi mutakhir tentang bagaimana pengolahan lahan pertanian, mereka bijak dan selektif untuk mengaplikasikannya, mereka tidak terkecoh oleh isme efesiensi dan efektifitas ketika memproduk, yang itu hanya akan mencelakakan atau merugikan tanah menjadi gersang dan tidak subur. Mereka sangat menghormati dan menghargai tanah, tidak merusak dengan menyuntiknya lewat obat. Mereka benar-benar mujahid, mujtahid, dan mujadid, hanya tidak punya akses saja, titik.
Jika kita beradu tentang berapa banyak jumlah angka antara lulusan pesantren dengan jumlah sekolah formal, saya sekali lagi berani beradu, lebih banyak lulusan pesantren dengan kualitas yang kompetitif. Lantas, dari ratusan atau bahkan jutaan lulusan pesantren (santri) yang bonafid dan berkualifikasi tersebut apakah perusahaan-perusahaan -yang mengeruk keuntungan lewat kegiatan korporasinya- mengakomodir mereka untuk bekerja? atau apakah lembaga pemerintah mengakui potensi mereka sebagai bagian potensi bangsa? Katakanlah Departemen Agama yang memiliki hak untuk mengakomodir mereka, sejauh manakah Departemen tersebut telah melakukan haknya? Sumpah Demi Tuhan! Departemen tersebut lemah merespon bahkan nyaris tidak. Sebaliknya, Departemen tersebut asyik mengutak-atik, me mark up dana haji dan bahkan bisa jadi mengeruk bagian apa yang seharusnya menjadi hak pesantren.
Terkadang Pemerintah kalut dengan peningkatan angkatan pengangguran dari tahun ke tahun. Sementara para lulusan pesantren (santri) ada pada jajaran pengangguran tersebut atau bahkan mungkin mendominasinya. Lantaran sedari awal pemerintah kurang mampu mengakui identitas ke non-formal-an mereka sebagai manusia berkualitas dan bagian dari kekayaan potensi bangsa dan negara, maka identitas out put nya pun kita sebut sebagai penganggur, tak lebih dari sampah masyarakat. Kalaupun ada ruang profesi, paling jauh hanya predikat Presiden Dewan Kemakmuran Mesjid (DKM), Tukang adzan, tukang gali kubur, atau Khotib Jum’at yang hanya bergaul dengan mimbar dan kitab suci saja, dunia lainnya tidak. Inilah kekuatan hukum sosial formal kita yang pada gilirannya menjadi bumerang bagi siapapun.
Maka dentuman ledakan bom pun tak lain adalah nyanyian rintih para penganggur. Mereka tidak bisa mengakutalisasikan prestasinya dalam merakit bom kecuali mencuri waktu dan tempat di tengah keramaian, mendemonstrasikannya lewat aksi bunuh diri, kenapa mencuri waktu dan tempat? Ya, karena waktu dan tempat mereka dikuras, dicoleng oleh para pemegang tampuk kekuasaan. Pengrusakan sejumlah tempat hiburan pun bukan semata-mata lantaran agama atau bukan lantaran perkara halal-haram, melainkan hanya alat atau atas nama saja, apa yang mereka atraksikan lewat pengrusakan tersebut tak lain adalah aktualisasi potensi ketangkasan dan keberanian mereka dengan mencuri momentum. Jangan heran jika santri-santri jebolan pesantren tersebut membentuk kelompok-kelompok kemudian melakukan serangakaian aktfitas radikal dan agak ekstrim. Saya yakin, dalam diri mereka tidak rela untuk melakukan itu semua, namun apa jadinya jika kita tidak memberikan tempat layak bagi mereka.
Kita jangan dulu kaget, kekecewaan yang timbul lewat aksi-aksi -yang kita anggap anarkisme dan terorisme- yang dilakukan oleh sebagian jebolan pesantren tersebut belum lah seberapa. Saya yakin, pada suatu ketika, dan jika terdesak sama sekali dan kalau perlu, mereka bisa melakukan gerakan revolusioner dan gebrakan-gebrakan dimana-mana karena mereka berada dimana-mana, dan alangkah entengnya bagi mereka untuk mengungkapan kekecewaan mereka hanya dengan membombardir ratusan orang lewat aksi bom bunuh diri.
Ada benarnya lamunan Destoyevski dalam novel Crime and Punsihment untuk kita renungkan kembali: “Kejahatan merupakan bentuk protes terhadap ketidakberesan organisasi sosial”
Yang mencuat dan dijadikan alat untuk bertindak anarkis tersebut baru hanya seputar isu agama, Tuhan, dan kitab suci. Bagaimana jadinya jika serangkaian anarkisme tersebut muncul dalam wajah Ras, Suku, Adat, dan wajah-wajah kebhinekaan kita lainnya? Wallahu a’lam.[snd]
dikutip dari "kompasiana"
Post a Comment